Masih ingat Phi bukan ? benar sekali "lingkaran". Phi erat sekali dengan lingkaran. 3,14 angka Phi yang sakral itu tahukah darimana…seketika siswa dikelas itu terdiam. "Ya dari sananya begitu Pak!!" jawab seorang siswa sambil diikuti tawa teman-teman kelasnya. Padahal kita tahu Phi adalah hasil dari keliling dibagi diameter. Jika diameter 7 cm pasti kelilingnya 22cm dan jika keliling 44 cm pasti diameternya 14 cm contoh keliling 44cm dibagi 14cm sama dgn 3,14285714 cm jika dibaca 2desimal 3,14 cm jika dibaca pecahan 22/7. Atau jika kita lebih yakin dengan membuat lingkaran berdiameter 7 cm, kemudian anda bagi menjadi 22 garis. Hal ini dilakukan untuk memastikan apakah keliling 22 cm pasti setiap garis adalah 1cm, bagaimana jadi benar keliling 22 cm kan". Demikian percakapan seorang guru matematika dengan murid-muridnya dikelas, suatu pagi disebuah sekolah.Tentu salah satu diantara Anda yang membaca tulisan ini akan bertanya-tanya, mengapa percakapan guru dan murid diatas harus ada diawal tulisan ini. Seperti halnya murid-murid dalam dialog tersebut, Anda mungkin saja baru tahu kalo Phi yang sama dengan 3,14 itu hasil dari keliling dibagi diameter. Kenapa terjadi demikian, seorang murid bisa saja hafal suatu rumus tapi tidak pernah tahu apa aplikasinya, mereka juga hafal nama para sastrawan dan karyanya tetapi tidak pernah membaca karya sastra apalagi mengapresiasinya, mereka tahu bagaimana mengkonversi satuan derajat Fahrenheit ke derajat Celcius tapi tidak pernah tahu cara menggunakan thermometer, mereka tahu istilah fotosintesis tapi tak pernah mengamatinya, mereka hafal tanggal-tanggal bersejarah tapi justru gagal belajar dari sejarah, mereka tahu tentang reboisasi tetapi tak pernah sekalipun belajar menanam pohon dan merawatnya. Jika demikian adanya maka tidak salah jika dikatakan bahwa sekolah kita telah terjebak dengan verbalisme. Pendidikan yang lebih mengedepankan hapalan dan bukannya pemahaman, menyukai formulasi dan bukannya substansi, lebih mengagungkan prestasi belajar dan bukannya tradisi ilmiah.Verbalisme, demikian pakar pendidikan menyebutnya sebagai "a statement empty of meaning the pupil learns his lesson but he does not learn", pemyataan yang kosong dari makna, kelihatannya siswa belajar mata pelajaran tetapi sebenamya mereka tidak belajar (Witherington mampukah kita mewujudkan hal yang ideal dalam pembelajaran disekolah kita?Untuk menciptakan pembelajaran tanpa verbalisme tentu tidaklah mudah, namun bukan berarti kita tidak dapat mewujudkannya. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangun lingkungan sekolah yang kondusif dan menyenangkan sekaligus mampu menjadi sumber belajar bagi para siswa. Sehingga dengan demikian keberadaan lingkungan sebagai sumber belajar dapat member manfaat yang positif seperti membangkitkan minat, aktivitas dan motivasi belajar siswa. Kedua, guru-guru harus mampu merubah dirinya sebagai pribadi yang dinamis. Pribadi yang senantiasa memperbaharui diri dan mengikuti perkembangan pengetahuan dan teknologi. Ketiga, memilih metode pembelajaran yang dapat meningkatkan rasa ingin tahu dan minat siswa terhadap pembelajaran. Dan keempat, mentradisikan kompetisi dan diskusi ilmiah dalam kehidupan sekolah untuk membangun tradisi ilmiah yang baik.Keempat hal ini tidak dapat kita pisahkan apabila kita ingin membangun pembelajaran tanpa verbalisme. Sebab seorang futuris terkenal Alvin Toffler, pernah mengatakan bahwa "buta huruf di abad 21 bukanlah karena orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi dikarenakan mereka yang tidak bisa belajar, tidak belajar, dan tidak mempelajari kembali." Maknanya, hidup kita sesungguhnya merupakan proses pembelajaran seumur hidup. Kapanpun, dimanapun dan dalam situasi apapun, setiap pribadi dituntut untuk terus melakukan pembelajaran, kalau tidak ingin semakin tertinggal. Dengan demikian, belajar baik itu ilmu pengetahuan maupun ketrampilan memiliki peranan yang sangat penting dalam perjalanan kehidupan manusia
No comments:
Post a Comment